REVIEW JOURNAL HUKUM PERJANJIAN
REVIEW JOURNAL
NAMA KELOMPOK :
1. VIRA AQMARINA SABILA (28210392)
2. DORIYAH PANJAITAN (22210154)
3. LUFY WAHYUNI (24210069)
4. MIRA MEIDIANI (24210411)
5. MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)
HUKUM PERJANJIAN
ABSTRAK
Dalam
hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement
(bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita
dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Istilah kontrak atau perjanjian
dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat
pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab
undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian
dari istilah tersebut tidak diberikan Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian
perjanjian, adalah suatu perbuatan satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
PENDAHULUAN
Menurut
Rutten Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan
formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari
persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain
atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal
balik.Menurut adat Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana
pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya
sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat
terjadi pembayaran dimuka).
Dari pengertian tersebut terdapat unsur-unsur
didalamnya yaitu perbuatan, Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau
lebih dan Mengikatkan dirinya,
Syarat sahnya
Perjanjian
Agar
suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu
:
1.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan
adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau
kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama
mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan
perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak
hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW).
Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan
tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.
cakap untuk membuat perikatan; Para pihak
mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para
pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil
dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu
perjanjian.
Pasal
1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a.
Orang-orang yang belum dewasa
b.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat
dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum
(Pasal 1446 BW).
3.
suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan.
Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan
hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek
perjanjian, dan berdasarkan
Pasal
1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.
suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan
ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal
adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Syarat
pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai
obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap
untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat
dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi,
maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam
melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan
suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
-
TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier
sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur
paksaan terhadap kedua belah pihak.
-
TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan,
tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
-
Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
-
Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan
tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat
kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).
Dari
uraian di atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat di
atas tidak Terpenuhi ?
Ada dua akibat yang dapat terjadi
jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat di atas.
Pasal
1331 (1) KUH Perdata:
Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada
atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian
tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah
ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan
hakim.
Sedangkan
untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah
paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka
perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak
mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak
dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
Kapan
perjanjian mulai dinyatakan berlaku ?
Pada
prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinyabahwa perikatan
timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak.
Misal:
Pada
saat terjadi musyawarah penanganan masalah, pelaku menyatakan bahwa ia akan
mengembalikan dana tersebut bulan depan. Maka, sejak ia menyatakan
kesediaannya, sejak itulah perikatan terjadi atau berlaku. Bahkan bila pada
saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis.
Satu
persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu
pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika
salah satu pihak melakukan wan prestasi
yaitu:
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2.
Dilakukan pembatalan perjanjian
3.
Peralihan resiko
4.
Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari
pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila
yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan
pembuktian di depan pengadilan. Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian
di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan
membuat surat
peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah SOMASI.
Pedoman
penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1.
Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan
dengan penafsiran.
2.
Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh
kedua pihak, dari pada memegang teguh arti katakata
3.
Jika janji berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan
janji dilaksanakan
4.
Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras
dengan sifat perjanjian
5.
Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6.
Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya
Akibat Perjanjian
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak,
akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga
para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak
diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
Berakhirnya
Perjanjian
Perjanjian
berakhir karena :
a.
ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b.
undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c.
para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
d.
tertentu maka persetujuan akan hapus; Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah
keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannya, misalnya karena adanya gempabumi, banjir, lahar dan lain-lain.
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu
:
.
keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak
dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi,
banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat
keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a.
debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b.
kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang
disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c.
keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih
mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus
dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan
kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya
kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban
resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan
debitur.
d.
pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua
belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara
misalnya perjanjian kerja;
e.
putusan hakim;
f.
tujuan perjanjian telah tercapai;
g.
dengan persetujuan para pihak (herroeping).
Ditinjau dari Hukum
Publik
A. Pengertian Perjanjian
Dalam
Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat
ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan
yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.
Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hokum internasional
yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian
Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft
pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah
suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24
Mei 1968 dan dari tanggal 9 April – 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum
kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law
of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku
sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hukum internasional positif. Pasal
2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah
suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur
oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua ataulebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Pengertian
diatas mengandung unsur :
a.
adanya subjek hukum internasional
yaitu
negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan
negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang mempunyai kapasitas
penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 6
Konvensi Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat
perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari
negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang
kewenangan organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada
Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun
bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus
diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas
artinya keikutsertaangerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan
gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b.
rezim hukum internasional.
Perjanjian
internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada
suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau
organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional
tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.
B. Syarat sahnya perjanjian
Berbeda
dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak
adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan
kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian
itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum
melakukan ratifikasi.
Tahapan
pembuatan perjanjian meliputi :
a.
perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral
maupun multilateral;
b.
penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari
semua peserta melalui pemungutan suara;
c.
kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan
formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima
konferensi.
Pasal
10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian
atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi.
Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda
tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d.
persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam
cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a)
penandatanganan,
Pasal
12 Konvensi Wina menyatakan :
-
persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakandalam bentuk
tandatangan wakil negara tersebut; Hukum Perjanjian Lista Kuspriatni
-
bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
-
bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian;
-
bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan
jelas pada waktu perundingan.
b)
pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan
yang berwenang di negara anggota.
C. Akibat perjanjian
1)
Bagi negara pihak :
Pasal
26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat
negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good
faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat
perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2)
Bagi negara lain :
Berbeda
dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak
dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan
akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada
negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan
negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa
negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh
mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal
35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan
akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana
persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Berakhirnya perjanjian
(1)
sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2)
atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3)
akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan
kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum
internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Perjanjian
yaitu Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pada
prinsipnya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain
berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Berangkat dari definisi di atas
maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian akan menimbulkan perikatan.
SUMBER :
http://vahmy76.wordpress.com/2012/04/07/hukum-perjanjian/
0 komentar:
Posting Komentar