Senin, 30 April 2012

HUKUM PERJANJIAN

REVIEW JOURNAL HUKUM PERJANJIAN

REVIEW JOURNAL
NAMA KELOMPOK      :
1.    VIRA AQMARINA SABILA (28210392)
2.    DORIYAH PANJAITAN (22210154)
3.    LUFY WAHYUNI (24210069)
4.    MIRA MEIDIANI (24210411)
5.    MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)
 
HUKUM PERJANJIAN
ABSTRAK
Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah  suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
PENDAHULUAN
Menurut Rutten Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.Menurut adat Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
Dari pengertian tersebut terdapat unsur-unsur didalamnya yaitu perbuatan, Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan Mengikatkan dirinya,
Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan; Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3. suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
- TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
- TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
- Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
- Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).
Dari uraian di atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat di atas tidak Terpenuhi ?
Ada dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat di atas.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim.
Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
Kapan perjanjian mulai dinyatakan berlaku ?
Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinyabahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak.
Misal:
Pada saat terjadi musyawarah penanganan masalah, pelaku menyatakan bahwa ia akan mengembalikan dana tersebut bulan depan. Maka, sejak ia menyatakan kesediaannya, sejak itulah perikatan terjadi atau berlaku. Bahkan bila pada saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis.
Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi
yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2. Dilakukan pembatalan perjanjian
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan pembuktian di depan pengadilan. Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan membuat surat peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah SOMASI.
Pedoman penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1. Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan dengan penafsiran.
2. Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh arti katakata
3. Jika janji berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji dilaksanakan
4. Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras dengan sifat perjanjian
5. Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6. Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya
Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
d. tertentu maka persetujuan akan hapus; Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempabumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu :
. keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;
e. putusan hakim;
f. tujuan perjanjian telah tercapai;
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).
Ditinjau dari Hukum Publik
A. Pengertian Perjanjian
Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hokum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April – 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hukum internasional positif. Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua ataulebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Pengertian diatas mengandung unsur :
a. adanya subjek hukum internasional
yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang kewenangan organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya keikutsertaangerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b. rezim hukum internasional.
Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.
B. Syarat sahnya perjanjian
Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral;
b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara;
c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi.
Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a) penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakandalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut; Hukum Perjanjian Lista Kuspriatni
- bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
- bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian;
- bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
b) pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di negara anggota.
C. Akibat perjanjian
1) Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2) Bagi negara lain :
Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Berakhirnya perjanjian
(1) sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Perjanjian yaitu Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pada prinsipnya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Berangkat dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian akan menimbulkan perikatan.
SUMBER :
http://vahmy76.wordpress.com/2012/04/07/hukum-perjanjian/

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar