Senin, 04 Juni 2012

UU anti Monopoli


ANALISIS AKUISISI ALFA SUPERMARKET OLEH CARREFOUR DALAM PERPESPEKTIF UU ANTI MONOPOLI

Yakub Adi Krisanto, SH, MH.

ABSTRAK

Akuisisi AS oleh PT CI kembali meramaikan situasi pasar ritel modern setelah putusan KPPU pada tahun 2005. Pada waktu itu KPPU menilai bahwa PT CI menggunakan posissi dominannya untuk menerapkan syarat-syarat perdagangan bagi para pemasoknya.

          Analisis kekuatan pasar pasca akuisisi sekedar dilakukan atas pasar bersangkutan melainkan juga pangsa pasar. Dengan analisa pangsa pasar akan diketahui persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Selanjutnya analisis posisi dominan juga mampu menggunakan konsep substantial lessening competition (SLC) yang sudah digunakan dibanyak Negara untuk mengkaji akuisisi. Menghambat pelaku usaha memasuki pasar menjadi ruh SLC, selain melihat tingkat persaingan itu sendiri dipasar bersangkutan.
PENDAHULUAN

          Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) sebagai institusi yang mempunyai otoritas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat kembali memperoleh tantangan.

          PT. Carrefour Indonesia (PT CI) dinilai menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dengan menerapkan persyaratan minus margin kepada pemasoknya.
PEMBAHASAN

AKUISISI DALAM HUKUM PERSAINGAN DAN INDIKATOR AKUISISI YANG ANTI PERSAINGAN

Pada umumnya akuisisi dilakukan oleh perusahaan terhadap perusahaan lain yang menunjang bidang usaha dari perusahaan yg mengakuisisi tersebut, baik yang dilakukan secara horizontal maupun vertical.

Akuisisi horizontal dilakukan oleh suatu perusahaan terhadap competitornya agar dapat memperbesar pangsa pasar dengan mengurangi tingkat kompetisi. Akuisisi vertical yang biasanya dilakukan terhadap pemasok, konsumen, pelanggan, atau distributor dari perusahaan yang mengakuisisi. Bentuk akuisisi yang paling umum ditemui dalam setiap kegiatan akuisisi adalah akuisisi saham.

Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilan saham yang telah dikeluarkan dan atau dikeluarkan oleh perseroan melalui direksi perseroan atau langsung dari pemegang saham.

          Indicator persaingan potensial adalah sebagai berikut: tingginya hambatan masuk dan keluar; kehadiran dan ketiadaan tekhnologi dan pengembangan pasar memudahkan menghadirkan produk atau jasa substitual. Indicator tersebut menjadi aspek yang berpengaruh bagi pelaku pasar dalam menjalankan kegiatan usahanya.

          Baik persaingan actual maupun potensial berkorelasi dengan SLC yang menjadi konsep hukum persaingan untuk melihat adanya hambatan yang menyebabkan berkurangnya jumlah perusahaan dalam suatu pasar. Keberadaan hambatan dengan sendirinya melahirkan berkurangnya tingkat persaingan dalam suatu pasar.

          Analisis terhadap praktek akuisisi hanya mungkin dilakukan secara normative-tekstual mengacu pada dampak atau akibat dari akuisisi atau pengambilalihan.

          Analisis dampak bagi praktik akuisisi bertolak dari definisi praktikmonopoli dan persasingan usaha tidak sehat. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

          Kepentingan umum dalam persaingan usaha terjebak pada pertarungan paradikma orde baru yaitu tanpa kemampuan membuat definisi untuk memberikan batasan atau daya jangkau keberlakuan dari kepentingan umunm tersebut.

KEPEMILIKAN ALFA SUPERMARKET DAN SITUASI PERSAINGAN DIPASAR RITEL MODERN

          Nama alfa dalam pasar ritel modern menimbulkan kesimpangsiuran ketika terkuak rencana akuisisi PT. CI. Ada kekuatiran dari berbagai kalangan bahwa pertama, yang diakuisisi adalah Alfamart yang merupakan took ritel dengan klasifikasi minimarket. Kedua, meskipun yang diakuisisi adalah Alfa supermarket tetapi akan berpengaruh pada kontrol PT. CI atas Alfamart, sehingga perlu diungkapkan berdasarkan yang diperoleh penulis untuk menunjukan bahwa PT. CI melakukan akuisisi atas Alfa supermarket bukan Alfamart.

MARKET POWER PT CI PASCA AKUISISI DIPASAR RITEL

     Kekuatan pasar (market power) merupakan kekuatan untuk menaikkan harga barang diatas tingkat harga yang kompetitif, dimana kenaikan (harga) tersebut sebagai dampak monopoli.

          Berdasarkan hasil temuan KPPU pada putusan No.02/KPPU-L/2005 bahwa secara alamiah PT CI mempunyai kekuatan pasar dipasar hypermart dalam hal sebagai berikut:

a)  Merupakan peritel pasar modern yang terbesar dipasar hypermarket dengan memiliki enam belas gerai dan beberapa gerai Carrefour adalah yang terluas dibandingkan gerai peritel hypermarket lain.
b)  Termasuk pelopor/incumbent dipasar ritel modern dengan konsep hypermarket
c)   Posisi gerai Carrefour yang banyak terletak dilokasi strategis memberikan terlapor akses yang signifikan kepada konsumen
d)  Gerai Carrefour memiliki tingkat kenyamanan dan kelengkapan fasilitas yang tinggi
e)   Jenis item produk yang dijual digerai Carrefour adalah termasuk yang paling lengkap
KESIMPULAN

Analisis akuisisi AS oleh Carrefour diatas mungkin akan dimaknai sebagai bentuk prasangka negative atas kegiatan usaha PT CI. Tetapi KPPU sebagai instituisi pemegang otoritas harus mampu menggunakan kewenangannya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha untuk menguji akuisisi tersebut. Dalam melakukan pengujian, KPPU harus bertolak dari analisis kekuatan pasar yang mengedepankan aspek pangsa pasar, posisi dominan dan SLC.

          Ketiga aspek dari kekuatan pasar untuk melengkapi penilaian KPPU atau penerapan syarat-syarat perdagangan yang dilakukan PT CIpada tahun 2005. Dengan menggunakan ketiga aspek tersebut diharapkan penerapan UU Persaingan Usaha menjadi lebih membumi, sekaligus menjadi bentuk penemuan hukum oleh KPPU terhadap ketentuan yang abstrak dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Khusus untuk akuisisi digunakan konsep SLC tetapi di Indonesia konsep tersebut bersembunyi didalam terminology hukum lain seperti persaingan usaha tidak sehat. SLC yang sudah menjadi konsep hukum persaingan usaha secara global perlu diadopsi secara gambling dalam UUP Persaingan Usaha.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, PT raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

ANGGOTA KELOMPOK      :

         MIRA MEIDIANI (24210411)

v      VIRA AQMARINA SABILA (28210392)


         DORIYAH PANJAITAN (22210154)


         LUFY WAHYUNI (24210069)


         MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)




jurnal penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Review Jurnal Penyelesaian Sengketa Ekonomi syariah


Review Jurnal Penerapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan Pengadilan agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Oleh : Hj. Renny Supriyatni
Dosen Tetap Fakultas Hukum Unpad. Jln. Dipatiukur No. 35 Bandung.
Anggota Kelompok :
·         Doriah Afni Panjaitan 22210154
·         Lufi Wahyuni Azizah
·         Mira Meidiani Suryadi
·         M. Naufal
·         Vira Aqmarina Sabila
ABSTRAK
The development of Islamic economic institutions in Indonesia has created the conflict of interest between stakeholder and Religious Court, especially in settlement of syariah-economic disputes. The application of fiqih muamalah in settlement of syariah-economic disputes in Islamic Religious Court, has been the crucial issue in Indonesia positive law . This article will seek to find and determine whether the application of fiqih muamalah as a basis in such dispute settlement is consistent with the Islamic Law Principles. It also examines the implementation of fikih muamalah that has become an Indonesian postive law. This research applies juridical normative approach. Data collection is gathered from library research complemented by primary from field research. The specification of this research is descriptive analysis, and the data gathered is analyzed in qualitative method. The article will demonstrate that the above fiqih muamalah rules are stipulated in Law No.3 of 2006 Jo. Law No 50 of 2009 on Second Amendment of Act No.7 of 1989. Meanwhile, the Islamic Law Principles have been adopted by Law No.21 of 2008, the Supremre Court Decree No 2 of 2008 and other relevant laws and regulations. The author recommends that the Indonesian Government adopt implementing regulation on syariah- economic. It is also recommended that the government should enhance socialization of the laws and regulations relating to fikih muamalah and syariah –economic to the general public. This can be a guidance for the Indonesian Muslims to comprehensively practice their religion teaching.
PENDAHULUAN
 Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering.
 Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Berdasarkan data yang yang diperoleh dari Ditjen Badan Peradilan Agama yang diakses melalui situs Badan Peradilan Agama, 2 hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara ekonomi syari’ah mengalami sedikit kendala dalam melaksanakan tugasnya. Kendala dimaksud antara lain:
1. Baru pertama kali menangani perkara ekonomi syari’ah, sehingga wajar apabila pengetahuan dan keterampilan hakim dalam menangani perkara tersebut belum memadai.
2. Masih belum ada hukum materiil ekonomi syari’ah yang terkumpul pada suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Akibatnya, hakim harus menggali hukum materiil yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya dari : Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Kitab-kitab Fiqih, Undang-Undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan rujukan lain. Kendala ini tidak terlalu dominan, karena umumnya para hakim Pengadilan Agama berlatar belakang Sarjana Syari’ah yang tentu saja pernah mempelajari hukum ekonomi syari’ah/hukum muamalah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law).
3. Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding).
PEMBAHASAN
Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama. Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:
a. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
b. Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau perkara.31
c. Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih mengetahui.
KESIMPULAN
1. Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
2. Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006. Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah.
SARAN
1. Berkaitan dengan kewenangan baru Pengadilan Agama mengenai ekonomi syari’ah, diharapkan pemerintah (adanya political will) dapat segera membuat peraturan mengenai ekonomi syari’ah, mengingat pada saat ini Hakim di Pengadilan Agama memerlukan payung hukum dalam memutus perkara ekonomi syari’ah yang menjadi wewenangnya.
2. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang telah dikodifikasi kepada masyarakat luas lebih ditingkatkan lagi, hal ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, untuk menjalankan ajaran agamanya secara kaffah.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Heidar, “Arti dan Mekanisme Musyawarah”, Majalah Padjadjaran, FH-Unpad, Bandung, 1994.
Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-Piutang dan Gadai, Alma’arif, Bandung, 1983.
Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Dalam penerapan ADR, Makalah, FH-Unpad, 1997.
Marianna Sutadi, “Arbitrase dan Mediasi Dalam Praktek Peradilan”, Talkshow tentang “Arbitrase dan Mediasi”, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 2007.
M. Daud Ali, “Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I ) Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia” Rajawali Press, Cetakan Ketiga, Jakarta, 1993.
Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Hukum, Hasanah, Jakarta, 2001.
Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia), Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
M. Thahir Azhari “Islam ,Hukum Islam dan Eksistensi Arbitrase Islam Di Indonesia,” BAMUI-BMI, Jakarta, 1994.
Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Chasindo, Jakarta, 1989.
M. Yahya Harahap, Arah Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Buletin Hikmah Th. I N0. 2, 1986, Surabaya.
-------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
M. Zein, Satria Effendi, Analisis Fiqh, Mimbar Hukum No. 37 Tahun IX, Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Mei-Juni 1998.
R. Abdul Djamali, “Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Konsorsium Ilmu Hukum”, Mandar Maju, Cetakan Kedua, Bandung, 1997.
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997.
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004. 206
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistesi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.
Wahbah Zulhaili, Fiqih Muamalah Perbankan Syariah, PT.BMI, Jakarta, 1999.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka Rizki Putra, Jakarta, 2009.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007.
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, CV. Aneka, Semarang, 1977.
Zainal Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1983.
Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, April 2008.
Sumber Lain
www.badilag.net/data/ARTIKEL/, diakses pada 4 Juli 2010.
Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah dalam Sistem Hukum Nasional. www.badilag.net/data/ARTIKEL/.

www. kamushukum.com
 
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
PERMA Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
53 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No, 01/DSN-MUI/IV/2006 sampai dengan No. 53/DSN-MUI/IV/2006 tentang kegiatan ekonomi syariah.



Hukum Perjanjian

*Review jurnal hukum perjanjian


STATUS HUKUM PERJANJIAN  INTERNASIONAL  DALAM HUKUM NASIOANAL RI
Tiinjaun Dari Perspektif Praktik Indonesia
Damos Dumoli Agustman
ABSTRAK
Hukum doktrin dan praktik indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional  RI belum berkembang dan seringkali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional  di dalam kerangka sistem hukum nasional.Tantangan ini telah mengharuskan indonesia untuk mengambil sebuah kebijakan nasional (politik hukum) yang mengatur hubungan kedua sistem hukum ini. Kebijakn tersebut akan menentukan stastus perjanjian internasional , memberikan arah bagi konsistensi penerapan perjanjian internasional, dan menentukan sejauh mana hukum internasional dapat mempengaruhi sisten hukum nasional.
PENDAHULUAN
            Secara teoritis persoalan berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional .
            Dalam teori , terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu :
a.      Aliran Duralisme yang menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional.
b.      Aliran mononisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagain dari satu kesatuan sistem hukum.
            Selain kedua aliran tersebut diatas terdapat pula negara yang menempatkan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.
            Pada negara-negara hukum modern seperti AS, Inggris dan negara-negara Eropa Barat, pengembangan doktrin  tentang  hubungan ini telah digulirkan sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses legislasi maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu pilihan politik hukum baik mononisme, dualisme maupun kombinasi keduanya. Pada negara-negara tersebut, persoalan status hukum internasional, baik hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional dalam hukum nasional mereka telah tuntas dan pada umumnya dapat dipetakan sebagai penganut aliran monisme(Belanda, Jerman, Perancis), dualisme (AS, Inggris, Australia) atau kombinasi keduanya (Indonesia?)
Sistem hukum indonesia  sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme, dan kombi nasi keduanya. Namun didalam literatur Indonesia , Prof.Mochtar kusumaatmadja (pengantar hukum Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas memotret bahwa indonesia mengarahpada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
UU No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional yang diharpkan serta seyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Menurut pengamat penulis sebagai salah satu anggota yang pernah turut dalam proses awal pembahasan RUU ini, ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mewarnai proses penyusunan UU ini, yaitu:
1.      Para perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembambang saat ini melalui pandangan proft. Mochtar kusumaatmadja yang mengidikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monisme primat hukum Internasional.
2.      UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktik negara RI tentang pembuatan perjanjian internasional yang sebelumnya dilandaskan pada surat Presiden RI No.1826/HK/1960 kepada DPR tentang pembuatan perjanjian-perjanjian dengan negara lain.
3.      Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belum menyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan hukum internasional dan nasional.
4.      Jurisprudensi Indonesia belum memberi kontribusi untuk terindefikasinya persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu mendapat perhatian perumusan UU ini.
Derasnya arus globalisasi mengakibatkan persentuhan antara hukum internasional dan nasional semakin Intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan.Akibatnya, Semua negara termasuk Indonesia tidak dapat lagi dapat menghindari benturan ini dan cepat atau lambat harus mengatur hubungan kedua sistem ini.
PEMBAHASAN
Terhadap pertanyaan ini, UU No. 24/2000 tentang perjanjian Internasional juga tidak terlalu tegas memberikan jawaban. Alur pikiranpara perumus UU ini di dominasi oleh pemikiran monisme. Akibatnya,UU ini hanya menyentuh konsep ratifikasi (pegesahan) dari dimensi hukum internasional sehingga tidak memberikan rumusan apa pun tentang konsep ini dalam dimensi hukum nasional.
Mahkamah Konstitusi dalan judical review tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsilisasi telah melakukan rujukan langsung pada ” praktik dan kebiasan internasional secara universal”.  Terobosan ini sangat menarik dalam diskusi monisme-dualisme karena menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hakim dapat terkait pada kaidah hukum internasional .
Dalam praktik negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan negara mengubah hukum bukan suatu yang lazim. Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional justru menekankan bahwa maksud negara untuk membuar perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional. Juru runding Indonesia dalam menegosiasikan UNCLOS 1982 justru menabrak UU
Namun pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional (pursuant to the respectivelaws and regulations) sangat ditekankan oleh i ndonesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakati  tetap dalam koridor hukum nasional .
            Globalisasi juga ditandai dengan berkembangbiaknya perjanjian-perjanjian internasional yang mencoba mengatur permasalahan-permasalahan yang menjadi domain hukum nasional. Perjanjian-perjanjian semacam ini tidak langsung menciptakan aturan melainkan hanya melakukan standard-setting yang kemudian akan diundangkan oleh negara-negara angota dalam hukum nasionalnya. Perjanjian ini tidak menciptakan norma itu sendiri melainkan mewajibkan negara anggota untuk membuat UU nasional yang menciptakan norma-norma dimaksud. Contoh perjanjian ini adalah konvensi tentang hukum perdata internasional, HAKI, anti korupsi, organiasi kriminal, terorganisasi dan lain-lain. Dalam perspektif hubungan hukum internasional dan hukum nasional, perjanjian semacam ini acap kali dijadikan contoh secara kurang tepat. UU anti korupsi sering diartikan sebagai UU yang mentransformasikan konvensi anti korupsi, atau UU paten atau merk selalu di artikan sebagai UU yang mentransformasikan konvensi tentang patent/trademark. Menurut penulis, UU dimaksud bukanlah UU tranformasin dalam perspektif dualisme,melainkan UU yang mengimplementasikan kewajiban negara anggota terhadan konvensi untuk mengundangkannya dalam hukum nasional terlepas dari aliran apa pun yang di anut oleh indonesia. Konvensi dimaksud tidak bersentuhan dengan hukum nasional karena materi yang dimaksud oleh konvensi berda pada domain hukum nasional. Konvensi-konvensi dimaksud hanya membatasi diri pada formula each stat shall adopt in its national legislation... dengan demikian, UU yang mengimplementasikan konvensi-konvensi yang bersifat standard setting tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Kejelasan doktrin dan hukum yang mengaur tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi indonesia.
            Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum indonesia untuk mulai mengenbangkan aturan tentan hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Penelitian akademis perihal ini seharusnya sudah harus dimulai dan dikembangkan. Pengguliran yang dimulai dari wacana akademis memang lebih disarankan ketimbang menyerahkan sepenuhnya kepada kecendrungan praktik indonesia. Praktik indonesia sepanjang tiedak dibangun oleh suatu doktrin dan kajian akademis yang memadai tetap akan menunjukan inkonsistensi yang mengarah pada ketidak pastian hukum.
            Hukum perjanjian internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 vienna convetion 1969 on the law treaties mengatur prinsin fundamental hukum perjanjian internasional,pacta sunt servanda yang menyatakan perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengat iktikad baik.
           
KESIMPULAN
            Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional menekankan bahwa maksud negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional.
            Pada era reformasi terdapat kecendrungan untuk menyesuaikan dulu hukum nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional.       
Derasnya arus globalisasi memgakibatkan persentuhan antara hukum internasional  dan nasional semakin  intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan.
 Lebih lanjut negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.
 Sumber: isjd.pdii.lipi.go.id 


NAMA KELOMPOK      :


1.    VIRA AQMARINA SABILA (28210392)


2.    DORIAH PANJAITAN (22210154)


3.    LUFI WAHYUNI (24210069)


4.    MIRA MEIDIANI (24210411)

  MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)

Hukum Dagang

* Riview jurnal hukum dagang

 
 
 
 
DUMPLING DAN AKIBATNYA TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI
(SUATU KAJIAN DIBIDANG HUKUM DAGANG INTERNASIONAL)
Ikarini Dani Widyanti, S.H., M.H
ABSTRAK
            Dumping sejak lama telah mengemuka dan telah diantisipasi dengan lahirnya pelanggaran dalam GATT(General Agreement on Tarifts and Trade) dan dengan Isu dumping ini melahirkan Antidumping Code dan menjadi WTO.
            Lahirnya praktik dumping sebagai konsekuensi perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks dan ketatnya persaingan negara. Keadaan tersebut telah menimbulkan berbagai tindakan yang menghambat perdagangan yang tidak jujur untuk memenangkan persaingan tersebut yang dilakukan oleh pelaku bisnis, ataupun melalui tindakan oleh suatu negara terhadap produk negara lainya.
PENDAHULUAN
            Tujuan utama bisnis internaional adalah akumulasi keuntungan sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini merupakan karakteristik dasar pergadangan internasional yang berkembang dari sekedar lintas pertukaran hasil antar negara, ke ensensi yang lebih kompleks, yaitu sarana pemenuhan kepentingan nasional negara-negara, termasuk sumber devisa, perluasan pasar,sarana akumulasi modal dan keuntungan produsen yang bergerak dibidang itu.
            Berbagai upaya dilakukan pemerintah suatu negara untuk memperbesar produksi dalam negerinya, memperlancar ekspor hasil produksinya termasuk melindungi pasar domestiknya.
            Untuk mendapatkan keutungan sebesar-besarnya produsen disuatu negara dapat saja melakukan penurunan harga secara tidak rasional (dumping) hingga tingkat lebih rendah dari harga internal yang berlaku dinegara tempat barang itu dipasarkan.
            Baru-baru ini kita dikejutkan lagi dengan adanya pemberitaan tentang tuduhan dumping yang disampaikan oleh beberapa produsen tepung terigu lokal terhadap produk terigu impor dari Australia, Srilanka dan Bima. Kasus tersebut saat ini sedang dalam penanganan dan pemeriksaan KADI( Komisi Anti Dumping Indonesia). Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan terhadap kelangsungan pengembangan industri dalam negeri terutama bagi UMKMK (Usaha mikro, kecil menengah dan koperasi).
            Produk ekspor indonesia yang sering dikenakan tindakan antidumping adalah produk penyumbang devisa seperti pakaian jadi, besi baja, kertas, kaca dan gelas, produk makanan, bahan kimia,alas kaki dan sebagainya. Tuduhan dumping dan berbagai penerapan antidumping terutama dari komisi eropa memberikan dampak bagi menurunya daya saing ekspor produk Indonesia.
            Mengingat indonesia telah meratifikasi WTO melalui UU No 7 tahun 1994, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk mengikuti seluruh kesepakatan yang sudah dicapai. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan UUNo 10 tahun 1995 tentang kepabeanan serta peraturan terkait lainnya yang mengacu kepada ketentuan GATT dan WTO tersebut.
           
PEMBAHASAN
Konsep Dumping dalam kerangka GATT/WTO
            Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi dipasaran internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.
            Menurut robert wilig, mantan kepala ahli ekonomi pada divisi antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumpling berdasarkan tujuan dari eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor , yaitu sebagai berikut :
1.      Market Ekspasion Dumping
2.      Cylical Dumping
3.      State Trading Dumping
4.      Strategic Dumping
5.      Predatory Dumping
Jika produsen barang dumping tidak dapat menerima sanksi antidumping tidak dapat menerima sanksi antidumping yang diputuskan oleh pemerintah negaraimportir, maka produsen tersebutdapat naik banding ke forum WTO, melalui pemerintah negaranya.
Sebagai suatu perjanjian internasional, GATT merupakan serangkaian aturan permainan dibidang perdagangan internasional yang menetapkan tata cara perdagangan antara negara-negara anggota yang disepakati bersama.
Akibat Dumping Bagi Industri Dalam Negeri Terutama Bagi UMKMK ( Usaha Mikro Kecil Menegah dan Koperasi)
            Suatu hal yang penting dalam pembuktian diumping adalah adanya pengaruh dumping terhadap kerugian industri dalam negeri untuk itu harus dibuktiakan adanya hubungan sebab akibat  berdasarkan bukti yang relevan yang dapat membuktikan bahwa kerugian yang diterima pelaku usaha dalam negeri tidak disebabkan oleh faktor lain seperti kecendrungan ekonomi atau kondisi ekonomi dinegara yang bersangkutan.
            Dampak dumping bagi industri dalam negeri negara pengimpor terutama bagi UMKMK adealah:
1.      Diskriminasi harga dalam perdagangan internasional cendrung mengurangi hasil produksidan produsen pesaing lokal
2.      Berkurangnya keuntungan bagi produsen barang sejenis akan mengakibatkakan para pemegang saham kehilangan devidennya dan beberapa pekerja akan kehilangan pekerjaan untuk sementara waktu.
3.      Dampak terhadap proses kompetisi dalam perdagangan internasional tergantung apakah diskriminasi harga terjadi secara horisontal atau vertical.
Dalam perdagangan internasional, dumping menguntungkan bagi industri hilir dinegara pengimpor. Importir yang terbukti melakukan dumping akan dikenakan bea masuk anti dumping sebesar marjin dumping yang ditemukan.
Suuatu perusahaan yang merasa dirugikan akibat adanya praktik dumping, dapat mengajukan permohonan penyelidikan anti dumping kepada komite Anti Dumping Indonesia (KADI) secara confidential Complaint. Permohonan penyelidikan Anti dumping dibuat secara singkat dan jelas mengenai keluhan menyangkut terjadinya kerugian yang disebabkan masuknya barang impor sejenis ke Indonesia dengan harga Dumping. Kerugian tersebut diukur dari 15 indikator kerugian yaitu:
1.      Penjualan dala negeri
2.      Profit
3.      Output/Produksi
4.      Pangsa Pasar
5.      Produktifitas
6.      Return of investment
7.      Utilitas Kapasitas
8.      Harga dalam negeri
9.      Dampak dari marjin dumping
10.  Cash Flow
11.  Persediaan
12.  Tenaga Kerja
13.  Upah Kerja
14.  Pertumbuhan
15.  Kemampuan meningkatkan modal dan investasi
Importir yang melakukan dumping akan dikenakan Bea masuk anti dumping sebesar marjin dumping yang ditemukan.
KESIMPULAN
            Kesimpulan yang daapat diambil dari pembahasan tersebut adalah:
Konsep dumping dalam ranga GATT/WTO menyatakan bahwa praktek dumping akan terjadi jika eksportir menjual dengan harga ekspor lebih murah dari harga yang dijual dipasar negara asal barang.Negara dapat melakukan tindakan anti dumping untuk melindungi industridomestiknya yang berupa definitive anti dumping (BMAD), privisional anti dumping) dan price under taking (bea masuk imbalan)
Akibat dumping bagi industri dalam negeri terutama bagi UMKMK adalah berkurangnya keuntungan bagi produsen barang  sejenis akan  mengakibatkan pemegang saham kehilangan deviden selain itu diskriminasi harga cendrung mengurangu hasil produksi dari pesaing lokal. Adapun pihak yang diuntungkan dengan adanya dumping adalah industri hilir dinegara pengimpor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bacaan
A.      Setiadi,2001, Anti Dumping dalam perspektif Hukum Indonesia, S & R Legal, Jakarta.
AF.Eli Erawati & JS Badudu, 1999, Kamus Hukum Ekonomi Inggris Indonesia,Proyek Elipps,
         Jakarta.
Gabriele Marceau, 1994, Antidumping and Antitrust Incuues in Free Trade Areas, Oxford
                   England.
Keith Steele, 1996, AntiDumping Under WTO : A Comparative Review, Kluwer Law
                     International and International Law Association, London.
Wolfgang Friedman, 1994, The Changing Structure of International Law, Oxford, England.
Yoserwan, 2006, Hukum ekonomi Indonesia, Andalas University Press, Padang.
Yulianto Syahyu, 2003, Hukum Antidumping di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeaan.
Antidumping Code 1994.
Internet
Jawapos.com, diakses tanggal 20 November 2008
Antara.com, diakses tanggal 26 November 2008
Kompas.com, diakses tanggal 26 November 2008
Leaflet
PanduanPermohonan Penyelidikan Anti Dumping,2009, Departemen Perdagangan Republik
                        Indonesia, Jakarta.
 
 
SUMBER : Isjd.pdii.lipi.go.id
 
NAMA KELOMPOK      :
1.    VIRA AQMARINA SABILA (28210392)
2.    DORIAH PANJAITAN (22210154)
3.    LUFI WAHYUNI (24210069)
4.    MIRA MEIDIANI (24210411)
   MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)


PRINSIP “PANG PADA PAYU” PENYELESAIAN SENGKETA KREDIT MACET DIHUBUNGKAN DENGAN ABIRTASE SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN HUKUKUM EKONOMI INDONESIA

I. NYOMAN BUDIARNA

ABSTRACT

 

Conflict is always part of the way of life and that includes the bussines sociey. All a long there lifes, human, reltron art always colour with conflict. In the tradisional society conflict sometimes where solvet not in a peacefull ways. Modern society most of the time solves their problem peacefully with the help of a neutral thrid party. Yudicial court is facilitated by the government to solve conflict between to conflicting paties in a certain society, because the need to solve conflict in one sociats is different from the other. Generqaly bussines people wants a quick solution, in a closed courts by judge who understand the subtanse of the problem related to the conflict. For them the way out tought judicial courts is not effecient and full of shortcomings. And with these shortcoming they do not know when there will be settlement because all depend on the judicial bearucracy.

PENDAHULUAN

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengamanatkan bahwa salah satu tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah memajukan kesejahteraan umum. Pembenahan Sistem dan Politik Hukum merupakan salah satu prioritas dalam PP No. 7 Th. 2005 tentang RPJMN yang merupakan pengejawatan dari Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintah berdasarkan sistem kontisusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari pasal tersebut ada tiga prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supermasi hkum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penengakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
 
Industri perbankan merupakan komponen penting sebagai pendukung dan penggerak sektor rill. Oleh karenanya, kebijakan di sektor perbankan akan berpengaruh dan memiliki implikasi terhadap pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Prinsip “Pang Pada Payu”adalah bentuk prinsip yang dianut oleh masyarakat Hindu di Bali dasn prinsip inilah yang melandasi setiap kegiatan manajemen PT.Bank Sinar Harapan Bali, yaitu dengan cara penerapan prinsip saling memberi dan menerima (Resiprositas) sepanjang telah menjadi satu kesatuan untuk kemajuan bersama. Ini adalah salah satu cara menyelesaikan sengketa kredit macet dengan menghormati dan memperkuat kearifan dari hukum adat yang bersifat lokal untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan indonesia.

PEMBAHASAN

Perihal keuangan negara memang mendapat perhatian cukup besar dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yakni dalam Bab VIII yang memuat antara lain ketentuan tentang Bank Sentral yang independen dan susunan, kedudukan dan kewenangannya ditentukan oleh undang-undang. Sehubungan dengan itu maka UU No. 23 Tahun 1999 dan yang dipertahankan dalam UU No. 3 Tahun 2004 telah menetapkan bahwa Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.
Bank Indonesia sebagai bank sentral berwenang untuk membuat peraturan agar perbankan menjadi selalu sehat. Bank Indonesia juga mendapat tekanan dari lembaga pengatur perbankan internasional yakni Basel Committee on Banking Supervision karena ketentuan Bank Sentral Dunia juga masih memberikan berbagai kelonggaran untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat. Industri perbankan memiliki peran yang begitu besar dan dominan dalam sistem keuangan suatu negara. 

Salah satu penyebab utama terjadinya krisis perbankan adalah karena sangat kurangnya penerapan good corporate governance yang bukan saja pada industri perbankan, akan tetapi juga pada sektor swasta lainnya dan sektor pemerintahan, termasuk Bank Indonesia.
Oleh karena itu, untuk melakukan program restrukturasi perbankan sekarang ini setidak-tidaknya terdapat dua hal yang harus dilakukan. Pertama, penyelesaian aset bermasalah, dan Kedua, mengupayakan terciptanya  good corporate governance.
Dalam rangka menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia salah satu cara yaitu dengan menciptakan dan memberikan pelayanan di bidang keuangan. Kenyataannya, fasilitas dan pelayanan perbankan hanya terkonsentrasi di perkotaan sedangkan masyarakat di pedesaan tidak tersentuh, sehingga menimbulkan kesenjangan antara kota dan desa.
Di dalam melaksanakan fungsinya, perbankan mengalami masalah kredit macet. Sengketa kredit macet adalah bagian dari kredit bermasalah yang dimiliki oleh bank. Setiap bank pasti mengharapkan tidak pernah mengalami kredit bermasalah, namun harapan tersebut tidak mungkin terjadi, karena setiap bank pasti menghadapi kredit bermasalah kecuali bagi bank-bank yang baru berdiri.
Arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini disebabkan karena arbitrase sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya Kitab UU Hukum Acara Perdata Belanda di Indonesia. Sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapat momentumnya dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 3 Desember 1977.

KESIMPULAN

Bank tidak mungkin terhindar dari kredit bermasalah. Kredit yang bermasalah merupakan penyebab kesulitan terhadap bank itu sendiri, yaitu berupa kesulitan terutama yang menyangkut tingkat kesehatan bank itu sendiri, oleh karena itu bank wajib menghindarkan diri dari kredit bermasalah atau kredit macet.
Hal yang diperhatikan dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah di antaranya adalah masalh administrasi kredit, kredit yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya dikapitalisir ( kredit plafondering ).
Pemilihan arbitrase untuk penyelesaian sengketa kredit macet antara kreditur dan debitur pada lembaga keuangan atau bank karena arbitrase ternyata memiliki beberapa kelebihan dan kemudahan.
Manfaat penyelesaian utang piutang dilingkungan masyarakat Hindu di Bali yang di selesaikan dengan prinsip “Pang Pada Payu” sangat besar pengaruhnya terhadap penyelesaian sengketa kredit macet pada Lembaga Pengkreditan Desa di Bali, mengingat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya.
Dengan demikian, apabila prinsip “Pang Pada Payu” dapat dijadikan peraturan Lembaga Perkreditan Desa yang dikeluarkan oleh BPD Bali sebagai pembina dan pengawasnya, dan peraturan ini bernaung dibawah payung hukum UU Nomor 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa, dengan model Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/8/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan , dan model ini diakui sebagai model penyelesaian sengketa yang mengedepankan pencapaian keadilan dengan pendekatan konsensus dan mendasarkan pada kepentingan para pihak dalam rangka mencapai win-win solution, maka upaya pengembangan Hukum Ekonomi Indonesia dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sekretariat Jenderal MPR RI 2002 (Hasil Amandemen dan Proses Amandemen Secara Lengkap Pertama 1999 – Keempat 2002), Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2002, hal. 59
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, hal. 85
Zulkarnaen Sitompul, Ibid, hal. 2 (Lihat Gillian G. Garcia (1), “Protecting Bank Deposits”, IMF, Economic Issue No. 9, 1997, hal. 1)
Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi Versus Kepentingan Umum, Jakarta : FH – UI Pascasarjana, 2003, hal. 1


ANGGOTA KELOMPOK      :

         MIRA MEIDIANI (24210411)

v      VIRA AQMARINA SABILA (28210392)

         DORIYAH PANJAITAN (22210154)

         LUFY WAHYUNI (24210069)

         MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)